Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau yang lebih dikenal KKN di Indoesia ini sepertinya sudah mendarah daging dalam tubuh manusia Indonesia. Padahal pemerintah sudah sedemikian rajin gembar-gembor tentang pemberantasan KKN.
Kalo dikilik-kilik, korupsi itu apakah hanya mengambil/menggunakan harta negara sajakah? Mungkin kisah ini bisa menjadi pelajaran…

Alkisah, di jaman pemerintahan Khalifah Ali tersebutlah seorang gubernur di salah satu daerah yang dikuasi oleh Kerajaan Islam. Nama-nya saya lupa 😀 Ketika itu sudah larut malam, namun di kediaman gubernur tampak kamar kerjanya menyala.. sepertinya gubernur sedang bekerja mempelajari berbagai hal mengenai wilayahnya di bawah penerangan lilin besar yang menyala terang. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan di kamar kerja beliau. Saat dipersilahkan masuk ternyata sang tamu adalah putra beliau.
Sang Putra kemudian meminta ijin hendak berdialog dengan gubernur.
Gubernur kemudian bertanya kembali, dialog mengenai apakah ini? Mengenai keluarga ataukah mengenai pemerintahan.
Sang Putra kemudian menjawab bahwa ini adalah dialog mengenai keluarga.
Mendengar jawaban putranya, gubernur kemudian meniup hingga mati lilin besar yang sekarang digunakan oleh beliau dan menggantinya dengan lilin kecil yang menyala seadanya. Dan kemudian mempersilahkan putranya berbicara lebih lanjut.
Penuh keheranan sang putra bertanya, mengapakah ayahanda mengganti lilin besar tadi dengan lilin kecil ini.
Dan dengan bijak sang gubernur berkata, lilin besar tadi dibeli dengan menggunakan uang negara sehingga hanya boleh digunakan untuk keperluan negara.

Lalu, apa sih hikmah dari cerita di atas? Sudah jelas bukan?
Pegawai yang memperoleh fasilitas mobil dinas tapi kemudian menggunakannya tidak hanya untuk urusan dinas adalah termasuk kategori Korupsi. Lihatlah mobil-mobil dinas pejabat yang lebih banyak digunakan oleh anak/istri mereka untuk urusan pribadi.
Lalu pegawai yang menggunakan fasilitas telepon kantor untuk urusan pribadi juga termasuk.
Dan termasuk juga para pegawai yang menggunakan fasilitas internet kantor untuk chatting dan nge-junk 😀
Serta penggunaan istana negara untuk acara pernikahan putranya juga kayanya masuk nih.

10 Comments

  1. UU VII/1978:
    “Pasal 3
    Disamping gaji pokok dan tunjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
    kepada Presiden dan Wakil Presiden diberikan :

    a. seluruh biaya yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas
    kewajibannya;
    b. seluruh biaya rumah tangganya;
    c. seluruh biaya perawatan kesehatannya serta keluarganya.

    butir b. mungkin termasuk menggunakan istana negara (karena tergolong biaya?). Jadi ya tidak apa-apa. Kecuali kalau jelas tertera dalam undang-undang tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Tapi kalau tertera boleh atau sama sekali tidak tertera ya, tidak (belum) melanggar hukum.

  2. hmm.. jadi memang belum ada ketentuan hukum bahwa presiden/wapres boleh/tidak menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi ya.
    ehm.. menyewa istana negara untuk pernikahan berapa ya? siapa tahu pas Audi menikah nanti bisa disana 😀

  3. Cerita tentang seorang gubernur tadi menarik juga, simpel tapi bener-bener ngena klo dipake menyadarkan para pejabat atau pegawai pemerintahan yang dibiayai negara. Seandainya semua orang memahami dan meresapi cerita itu, mungkin angka korupsi bisa turun drastis, hehehe… Soal penggunaan istana negara menurut say masih wajar, mengingat itu termasuk dalam point rumah tangga. Tapi tentunya biaya nikahnya meti dari kantong pribadi gitu loh..hehe peace…

    Ryan
  4. yup, benar.
    karena saya menuliskan hanya berdasarkan ingatan semata maka banyak modifikasi.
    namun bila semisal ada rekan yang mengetahui asal muasal cerita tersebut agar segera memberitahukan kepada saya agar dapat saya berikan kredit yang sesuai bagi pengarang asli kisah tersebut

  5. itu memeng patut dijadikan cermin untuk suri tauladan kita. Tapi, benarkah pemerintah kita memiliki sikap yang profesional dan memiliki mental untuk kepentingan negara?. jika dilihat dari kasus yang ada, kabanyakan sebaliknya. Ini yang malah merusak nama bangsa. Padahal peribahasa “dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung” harus benar-benar dilaksanakan dengan pemaknaan yang positif untuk kepentingan bersama (masyarakat Indonesia). bukan hanya untuk golongan maupun kepentingan orang-perorang.:-)

    endra

Leave a Reply to Saya Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *