Pagi ini saat melintas di depan gedung MPR/DPR jalanan kembali macet total. Usut punya usut ternyata sedang ada demonstrasi dari karyawan Damri. Saya tidak sempat membaca keseluruhan kata-kata dalam spanduk yang di bentangkan pendemo, diantara kata-kata yang terbaca ada berbunyi “…Damri milik pemerintah…” dan “…Dipolitisasi, dipelintir…”.
Hanya satu yang terpikir oleh saya, masihkah demonstrasi itu efektif?
Demonstrasi merupakan bagian dari pengerahan massa. Sementara pengumpulan suatu massa rawan provokasi yang berakibat kepada tindakan-tindakan anarkis. Beberapa orang menyebutnya sebagai psikologi massa, dimana orang yang ramah dan nice bila sudah bergabung dalam rombongan massa dapat berubah menjadi beringas dan entah apa yang akan mereka lakukan.
Demonstrasi mengalami masa bulan madu pada tahun 1998-1999, saat kejatuhan Presiden Soeharto. Dan saya termasuk pelaku demonstrasi saat itu. Pada saat itu empati masyarakat sangat kuat terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Demonstrasi yang diikuti peristiwa Semanggi I dan II, serta kemudian dilanjutkan dengan kerusuhan massal Mei 1998.
Namun setelah itu, arah demonstrasi mulai terasa aneh bagi saya. Sehingga saya akhirnya lebih fokus ke arah kuliah dan pekerjaan. Dari berita-berita di media dan surat kabar, saya terus melihat bahwa demonstrasi kemudian dijadikan ajang unjuk kekuatan. Bahkan beberapa orang mulai mengaku di bayar untuk berdemonstrasi.
Ditengah-tengah kebobrokan oknum anggota DPR/MPR, ditengah-tengah tulinya oknum pemerintah, apakah dengan demonstrasi kemudian permintaan mereka akan dipenuhi? Yang ada hanyalah keluhan dari pengguna jalan, seperti saya saat ini, tentang kemacetan yang diakibatkannya.
Jadi, masih efektif-kah demonstrasi saat ini?

3 Comments

Leave a Reply to pandu Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *